Selasa, 16 Februari 2016

Aku Rindu

Tubuhku berdiri di suatu tempat yang cukup asing, yang belum pernah ku datangi sebelumnya. Mataku tertuju kepada gedung berwarna biru di depanku dan jalan raya besar di depannya. Disini lah aku. Memakai long sleeve shirt berwarna merah muda dan rok hitam panjang sembari menggendong tas ranselku yang berwarna merah. Aku baru saja tiba disini sekitar 5 menit yang lalu. Bisa dikatakan, ini merupakan salah satu perbuatan agak nekatku. Bagaimana tidak? Aku selesai perkuliahan pukul 11.00 siang dan akan memulai kembali perkuliahan pukul 14.00, sedangkan sekarang pukul 12.30. Aku menghela napas. Aku butuh air. Aku melangkahkan kakiku ke warung makan terdekat dan memesan segelas air jeruk dingin. Aku melirik ponselku dan mendengus pelan. Kayaknya aku ada rapat ampe jam 2 huftz. Yah, beginilah Nis akibatnya kalo sedikit memaksakan diri. Mengorbankan diri sendiri demi sesuatu yang ngga pasti. Rela capek-capek dan jauh-jauh dari kampus ke daerah sini. Hanya untuk apa? Hanya untuk melihat wajah dan mendengar suaranya. Itu saja. Tidak ada alasan lain. Dan mungkin itu salah satu alasan terbodoh mengapa aku disini. Mengapa masih saja belum bisa berfikir jernih dan belum bisa memetik pelajaran tentang hal ini, Khaerunnisa Apriani?

Ponselku berbunyi. Kamu dimana? Aku sudah malas sebenarnya untuk membalas pesannya tersebut. Tapi entah kenapa otak dan hatiku sedang tidak sinkron. Tanpa sadar, aku mengetikkan balasan untuknya dan tersadar setelah terkirim pesan tersebut. Terlambat. Sudah terkirim, Nisa. Aku menundukkan kepalaku ke meja. Aku sudah tak peduli kepada beberapa orang yang melihatku begini. Aku lelah. Bukan, bukan lelah karena aku sudah terlanjur disini. Entahlah, aku hanya merasa lelah saja dengan semua ini. Aku sudah pasrah, aku tidak lagi menunggunya. Apakah dia akan datang menemuiku atau tidak, aku sama sekali tidak peduli. Apakah sia-sia aku sudah kesini atau tidak, aku tak lagi memikirkannya. Hanya satu yang aku tau dan yang sedang berkecamuk di pikiranku : Sebenarnya untuk apa sih begini, Nisa? Untuk apa? 

Aku tak tahu jawabannya. Tubuhku memang selalu spontanitas dan selalu tidak berkoordinasi dengan baik kepada otakku. Tidak, aku tidak lagi menganggap ini pengorbanan, tapi aku menganggap ini sebuah kebodohan yang selalu aku lakukan. Yang dulu juga aku lakukan kepada seniorku yang berinisial A itu. Aku mendongakkan kepalaku dan meminum air jeruk dingin itu. Segar. Sudah cukup. Daripada memikirkan hal yang sia-sia, lebih baik aku menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ya, aku selalu begini. Jika ada hal yang berkecamuk dalam pikiran dan hatiku, aku selalu menuangkannya dalam bentuk tulisan. Entah lah, selalu membuatku lega tanpa harus bercerita kepada seseorang. Yah, meskipun secara tidak langsung aku menceritakannya kepada semua orang jika aku menuangkannya ke dalam blog.

Saat sedang menulis, entah apa yang merasuki diriku, tiba-tiba kepalaku refleks menoleh ke kiri. Dia sedang berjalan menghampiriku. Aku tidak kaget, tetapi juga sedikit terkejut. He's here? batinku. Aku menyelesaikan tulisanku yang terpotong dan segera menutup catatan kecilku. Aku tidak ingin dia melihatnya. Dia menyapaku dan ku jawab sapaannya. Selang beberapa menit kemudian, kami duduk di kursi panjang yang letaknya tak jauh dari tempatku memesan minuman. Lidahku masih kelu. Aku hanya bisa melihatnya dari samping. Mengamati setiap inci dari wajahnya dan bergumam dalam hati, aku rindu kamu. Seakan tahu ia sedang ku perhatikan, ia menolehkan wajahnya dan bertanya tentang kehidupanku selama ini. Bertanya tentang bagaimana aku bisa sampai disini dan....aku sedikit menyesalinya karena semua alasan yang aku lontarkan, merupakan kebohongan kecil. Ya, aku tidak ingin dia tahu mengapa aku disini dan bagaimana caranya. Aku tidak ingin dia tahu bahwasanya aku memang sengaja menyempatkan diri kesini, aku tidak ingin dia tahu bahwa aku merindukannya. Tidak ingin dia tahu bahwa hanya ada satu alasan mengapa aku disini : ingin melihat wajah dan mendengar suaranya. Tidak, cukup aku dan Tuhan saja yang tahu.

Aku hanya menjawab beberapa pertanyaannya dengan singkat. Aku merasakan senang dan sakit saat berada di dekatnya. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk bersikap biasa, bersikap seolah-olah kami baik-baik saja. Aku melontarkan beberapa pertanyaan basa-basi untuk menutupi kesedihan dan kegelisahanku. Bahkan aku tidak bisa melemparkan candaan yang biasanya kami ucapkan saat bertemu. Sudah tidak ada energi untuk tertawa. Tuhan, mengapa harus begini jadinya?

Saat dia berbicara, aku hanya menatapnya dari samping. Maaf, aku mungkin tidak mendengar apa yang dia bicarakan. Yang ku lakukan hanya menatap wajahnya dan sesekali bergumam di hati, mengapa harus seperti ini? Ingin sekali aku mengatakan bahwa aku rindu padanya. Aku rindu dirinya yang dulu. Ingin sekali aku mengatakan padanya bahwa aku ingin dia kembali menjadi dirinya yang dulu. Aku tak tahu apa dan mengapa kami seperti ini. Seperti ada sebuah tembok besar yang menghalangi kami. Seperti ada batasan yang tak terlihat yang muncul dalam diri kami masing-masing. Aku tau persis batasan itu didiriku. Tapi di dirinya? Aku tak tahu dan tak ingin tahu. Lebih baik aku tidak tahu daripada aku tahu dan aku sakit karenanya.

Jam sudah menunjukkan pukul 13.00. Aku tahu, sudah saatnya aku kembali ke kampus. Namun, tangan ini tak kunjung memesan ojek online. Aku tak ingin beranjak. Aku masih ingin disini. Aku masih ingin mendengarnya bercerita apapun itu. Kepalaku sesekali menerawang ke depan sembari mendengarnya. Kalau boleh aku jujur, aku tak tahan melihat matanya. Aku tidak kuat jika berlama-lama menatap wajahnya sehingga aku lebih memilih untuk menerawang ke depan. Pemandangan sepeda motor yang berjejer di depanku ternyata menarik juga. Menarik sebagai pengalih perhatianku.



Sudah saatnya ia kembali bekerja. Ia memintaku untuk segera memesan ojek online tersebut. Dengan berat hati, aku lakukan hal tersebut. Ia menawarkanku untuk berjalan ke depan bersamanya sambil menunggu ojek online yang ku pesan datang. Tak lama, kami berdiri di sebuah zebra cross yang memisahkan antara tempatku dan ia berdiri sekarang dengan sebuah gedung yang akan ia masuki. Aku menatapnya sendu. Seandainya kamu tahu, seandainya kamu mengerti, K, batinku berujar. "Yaudah, aku duluan ya", ucapnya. Aku mengangguk pelan dan melambaikan tangan padanya. Ia berjalan menjauhiku tanpa menoleh ke belakang. Tatapanku terus mengikutinya dari ia menyebrang zebra cross tersebut hingga ia menghilang secara perlahan dari penglihatanku. Bahkan, saat ia sudah mneghilang dan mungkin sudah memasuki gedung berwarna biru itu, tatapanku masih berada di tempatnya. Entah apa yang aku lihat. Tersadar dari lamunan, aku pun berjalan ke tempat dimana aku tiba pertama kalinya disini. Sudah, Nisa. Hanya Allah yang tahu tentang hari ini, Hanya Allah yang tahu apa saja yang sudah kamu lakukan. Aku kembali menoleh ke belakang untuk melihat gedung berwarna biru itu dan bergumam kepada diriku sendiri, cukup untuk hari ini, Nisa....

0 komentar:

Posting Komentar