Senin, 18 Agustus 2014

Cerpen 1 --- Serupa Tapi Tak Sama (part two)

"Lo jadi ikut komunitas itu?" tanya Yuna melirikku yang sedang asik mengisi formulir open recruitment secara online.
"Yep." jawabku singkat.
"Oh, kapan oprec-nya?" tanyanya lagi.
"Sekarang udah oprec sih. Tapi interview-nya dua minggu lagi kayaknya. Abisnya gue bete gitu loh ngga ikut organisasi selama kuliah. Gue ngerasa kayak wasting time aja kalo cuman untuk kuliah-pulang-kuliah-pulang." jawabku sambil menopang dagu dan menerawang ke depan. Dan gue juga pengen menyibukkan diri supaya ngga selalu keinget sama Grian sih sebenernya, batinku melanjutkan.
"Well, good luck, then." ujar Yuna sambil menyeruput kopinya untuk yang terakhir dan ia pamit kepadaku untuk segera ke perpus melanjutkan tugas karya ilmiahnya yang tertunda.
Aku pun sendirian di kantin dengan ditemani oleh secangkir vanilla latte beserta hotdog yang sama sekali belum aku makan. Entahlah, tiba-tiba nafsu makanku menjadi hilang. Melihat hotdog dingin dengan saus tomat diatasnya malah membuatku semakin tak ingin memakannya. Aku melirik hotdog itu sambil menaikkan bahu dan menghela nafas panjang seraya menggumam, "Yah, yaudah lah.". Aku pun akhirnya melahap hotdog itu dan meneruskan mengisi formulir oprec yang tertunda dan segera mengklik tombol send yang tertera pada layar. Selesai sudah tugasku. Tinggal menunggu konfirmasi dari pihak komunitas itu dan aku akan mengikuti dua interview yang akan diselenggarakan kurang lebih dua minggu lagi.




***



Aku memarkirkan motorku tepat didepan gedung berlantai tiga ini. Gedung ini merupakan basecamp-nya komunitas yang akan aku ikuti dan aku pun segera memasuki gedung itu untuk menuju ke lantai dua. Sesampainya aku di lantai dua, aku disambut oleh seorang cewek yang sempat membuatku terpana akan kemodisannya dalam berpakaian.
"Halo, siapa namamu?" tanya cewek itu sopan sambil mengulurkan tangannya padaku.
"Riani." jawabku membalas jabatan tangannya.
"Oke, kamu udah isi absen?"
"Belum. Dimana ya?"
"Disini." Cewek itu menyerahkan dua lembar kertas HVS dan sebuah pulpen. Setelahnya, aku diminta dia untuk memasuki ruangan yang tak jauh dari situ. Aku mendapati ruangan itu seperti ruangan meeting dengan adanya meja persegi panjang dan kursi-kursi kantor yang telah diatur sedemikian rupa. Aku menyalami orang yang berada disitu satu persatu termasuk seorang cowok yang sedang duduk di kursi pimpinan rapat yang kemudian kami berdua saling memperkenalkan diri.
"Hai, Riani." ucapku seraya tersenyum memperkenalkan diri kepada cowok itu.
"Halo, Dityo." balasnya sambil tersenyum lebar.
Aku duduk di kursi yang kosong dan merilekskan tubuhku yang cukup letih karena mencari tempat ini. Satu persatu aku lihat orang-orang yang berada di ruangan ini sambil mendengarkan mereka yang mengobrol dengan teman disampingnya. Mungkin mereka memang sudah berteman sebelum ini atau baru berteman dan sudah akrab. Entah lah. Aku tak terlalu peduli akan hal itu. Mataku terhenti pada satu titik dimana Dityo duduk sambil melihat -atau mungkin membaca- kertas yang dipegangnya. Aku tak tahu mengapa ia sangat familiar dengan seseorang yang sangat aku kenal. Aku mengernyitkan dahi dan mengingat siapa yang mirip dengan Dityo ini. Ah, aku tak bisa secepat ini mengingatnya sebelum aku mendengar sepatah atau dua patah kata yang terlontar dari mulutnya. Tak lama kemudian, cewek modis yang mengenakan celana berjeans robek dengan baju longgar berwarna putih dan ankle boots itu pun masuk ke ruangan dan membisikkan sesuatu kepada Dityo. Setelah mendapat tanda dari Dityo. cewek itu pun duduk dan memulai sesi Group Discussion. Sebelumnya -seperti biasa- masing-masing dari kami pun memperkenalkan diri dan setelahnya aku mengetahui bahwa cewek itu bernama Dian. Setiap kata yang terlontar dari mulut Dityo, aku cermati baik-baik dan seketika aku teringat bahwa ia (sangat) mirip dengan.....Grian. Ya, dari postur tubuhnya, bentuk wajahnya, senyumnya, tawanya, cara berbicaranya, pelafalan ucapan bahasa Inggrisnya serta dari caranya menatap seseorang berbicara. Aku memandangnya seolah tak percaya bahwa Dityo ini sangat mirip dengan Grian. Aku memandangnya lagi. Mendengarkan dia lagi. Dan kembali meyakinkan diriku bahwa Dityo tidak mirip dengan Grian. Ah, usahaku sia-sia karena tak dapat kupungkiri bahwa Dityo sangat mirip dengan Grian. Postur tubuhnya yang tinggi besar, bentuk wajahnya yang bulat, serta tatapan matanya yang cukup sebagai bukti bahwa ia mirip dengan Grian. Aku tersenyum kecut. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin aku yang berniat ikut komunitas ini agar menyibukkan diri supaya tak teringat Grian malah bertemu dengan seseorang yang justru tambah membuatku gila karena usahaku ini sia-sia belaka?
Udahlah, Ri. Mundur aja. Buat apa ikut komunitas yang malah bikin lo semakin keingetan Grian? Ngundurin diri aja, batinku mendesak.
Oh come on, Ri! Ini bukan seperti apa yg lo pikir. Semirip-miripnya manusia, pasti ada perbedaan dan entah kenapa gue yakin kalo Dityo ini sangat berbeda dengan Grian dan bahkan dia lebih baik dari Grian, batinku yang satunya membantah.
"Jika terpillih sebagai pengurus, apakah kalian bersedia meluangkan waktu kalian dan berkomitmen?" tanya Dityo kepada masing-masing dari kami.
Mau jadi pengecut, Ri? Ketakutan akan hilang kalo dihadepin. Bukan dihindarin kayak gini. Please don't be coward, batinku bergejolak.
Ini bukan masalah pengecut ya, Ri. Ini masalah usaha. Gimana lo mau ngelupain Grian kalo lo terus-terusan ketemu sama orang yang mirip banget, oh bahkan mungkin kopiannya Grian, huh?, batinku yang satunya kembali menekanku.
"Jadi, bagaimana, Riani? Apakah kamu bersedia menjadi pengurus komunitas ini?" tanya Dityo sambil melihat mataku yang sedang penuh keraguan ini.
Aku terdiam sejenak. Tak sampai 5 detik aku pun memutuskan, "Ya, saya siap dan saya berkomitmen."
"Oke, jadi semuanya udah deal ya. Kami akan mneginterview kembali Anda yang bersedia menjadi pengurus kira-kira 1 jam kedepan." Dian memberitahu kepada kami dan setelah itu sesi Group Discussion ditutup. Aku menghela nafas panjang seolah tak percaya hari ini terjadi sesuatu yang menurutku cukup mengejutkan dan herannya aku pun berani untuk mengambil resiko itu. Aku pun tak lama tertawa kecil akan hal ini dan kembali menunggu sesi selanjutnya sambil mendengarkan musik melalui headset.




- To be continued

Minggu, 17 Agustus 2014

Cerpen 1 --- Serupa Tapi Tak Sama (part one)

"So, after all this time, huh?" tanya Yuna memastikan.
"Yeah." jawabku pasti.
"Sejak kapan?" tanyanya lagi.
"Well, I dunno. Let's say....a month ago? Neaah, I'm not sure." jawabku disertai alis yang mengkerut dan ingatan yang masih samar.
"A month ago and you've fell in love with him? Come on! Just because he looks like Grian, it doesn't mean you can fall in love based on their similarity, right?"
"Gue tau kok." 
"Teruuus?" tanya Yuna masih tak mengerti.
"Apanya?" aku pun bertanya kembali karena belum menangkap maksud dari pertanyaannya.
"Ya apa alasan lo kalo lo ngga jatuh cinta ama dia karena bukan kemiripannya ama Grian?"
Aku pun hanya menanggapi pertanyaan Yuna dengan senyuman sembari kembali mengingat-ingat semua kejadian itu.




***

6 bulan sebelumnya...

"Hey."
Aku mendongakkan kepalaku. Dia. Ya, mengenakan kaos berkerah berwarna biru tua dengan tas ransel hitam yang digendongnya dan celana jeans yang berakhir dengan sepatu berwarna hijau muda. Sepatu pemberianku.
"Haiiii." 
"Udah lama ya nunggunya? Sorry ya baru kelar kelas ada urusan sedikit." ucapnya sedikit merasa bersalah.
"No, that's okay. Gue juga belum lama kok." 
"Okay, so...udah mesen?"
"Udah kok barusan. Bentar lagi juga pesenan gue dipanggil. Oh ya, lo mau mesen apa?"
"Espresso. As usual." jawabnya singkat disertai senyum kecil.
"O...kay."
Tak berselang lama, namaku dipanggil oleh waiter dan aku menghampirinya untuk mengambil pesananku. Aku melihat daftar menu beserta harganya dan tak sampai 5 detik mataku tertuju pada harga espresso yang langsung aku pesan. Sembari menunggu espresso, aku melirik ke arah dia yang sedang asyik memainkan ponselnya di kursi kayu itu. Grian. Grianda Prasetyo. Lelaki yang sempat mengisi hari-hariku selama 2,5 tahun ini. Lelaki yang telah memberi arti senyum, ketulusan, pengorbanan, perjuangan, dan rasa sakit. Lelaki yang telah menikam hatiku berkali-kali dan aku (bodohnya) masih menaruh perasaan padanya. Getaran indah dan menyakitkan itu masih terasa dihatiku. Aku tak tahu apakah aku harus menikmati ini ataukah harus segera menyingkirkannya. Aku menundukkan kepala seperti orang yang telah putus asa kehilangan arah.
"Nona Riani!" seru waiter membuyarkan percakapanku dengan diriku sendiri. Yeah, aku memang selalu begini, bercakap-cakap dengan diriku sendiri dalam batin.
"Oh ya." aku mengambil cangkir espresso di tangan kanan sementara tangan kiri sibuk memegang Iced Green Tea Latte kesukaanku.
"Here it is." celetukku spontan sambil menaruh secangkir espresso di depan Grian.
"Wow, thank you. Berapa?" tanya Grian buru-buru mengambil dompet di saku celananya.
"No need. I treat you today." jawabku cuek dan meminum Iced Green Tea Latte.
"Nope." Kekeuh Grian mengeluarkan selembar uang 50 ribu dan memaksa telapak tanganku untuk terbuka agar ia bisa menaruh uangnya disitu. Aku terkejut dan Grian berkata, "Terima atau gue ngga akan mau ngopi sama lo lagi. Oh iya, sisa uangnya buat lo. Rejeki jangan ditolak." kemudian ia kembali menutup telapak tanganku dan tersenyum polos. Sesaat aku mematung dan perang di dalam diriku kembali berkecamuk melihat senyum Grian yang polos dan itu mencegahku untuk marah padanya.
"Elo ya, selalu begitu. Thanks anyway." balasku pasrah sambil menaruh uang itu di dompetku.
Grian tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi saat aku sudah tak bisa berbuat apa-apa dengan keinginannya. Ia selalu seperti itu dan aku pun hanya bisa menaikkan alis dan memainkan bola mata keatas kesamping pertanda acuh. Aku hampir lupa tujuan dari pertemuan kami siang ini setelah 1 tahun lamanya tidak berhubungan via apapun. Aku masih ingat Selasa malam saat Grian memutuskan hubunganku dengan alasan jatuh cinta dengan wanita lain. Aku terkejut saat itu dan langsung tak terima alasannya. Grian mengatakan bahwa lebih baik ia jujur akan hal itu dibanding mencari berbagai alasan klise yang berujung pada sebuah kebohongan dan ia menegaskan bahwa tak ingin hubungan pertemanan kami renggang hanya karena sebuah putusnya hubungan cinta. Cukup dewasa memang, tapi tak menyurutkan rasa kekecewaanku padanya. Semua itu berujung pada putusnya hubunganku dengan Grian tetapi tidak dengan pertemanan kami. Ya, kami masih berteman baik hingga saat ini meskipun aku masih diam-diam menaruh perasaan padanya.
"Selama ini kemana?" tanya Grian serius dengan menatap mataku dalam-dalam.
"Gue? Hahaha nowhere. Dirumah, kampus, cafe...."
"Not places. Where have you been? Avoid me?" tanya Grian memotong jawabanku.
Aku terdiam sejenak memikirkan jawaban yang tepat. Oh, mungkin lebih tepatnya alibi yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang ku benci ini. Ya, aku benci dengan pertanyaan Grian yang mengingatkanku akan setahun yang lalu. Setahun yang penuh dengan perjuanganku untuk menyembuhkan luka yang telah ia ukir.
"Ya gue ngga kemana-mana, Grian. I'm here. I'm going nowhere. Kenapa deh?" jawabku tak nyaman.
"Gini ya, gue tau perasaan lo pasti emang masih sakit dengan semua yang udah gue perbuat. Gue tau itu. Dan gue tau sebenernya lo ngga nyaman dengan pertanyaan gue tadi." ujar Grian.
Oh Grian, you got me, batinku.
".....tapi gue ngga enak kalo hubungan pertemanan kita terus dingin kayak gini, Ri. I mean, just act like you did. Okay? Gue minta maaf atas kejadian setahun yang lalu karena mencoba jujur yang berakhir dengan gue nyakitin lo. Dan gue juga ngga nyangka sekaligus seneng karena lo akhirnya merespon semua whatsapp gue untuk kembali ngomong ama gue setelah setahun ini lo nyuekin gue. Cukup hubungan spesial kita aja yang berakhir, jangan pertemanan kita yang udah berlangsung lebih dari 10 tahun, ya?"
Justru karena udah lama makanya gue bingung, Grian, batinku menjerit. 
"Gue cuma butuh waktu untuk nenangin diri aja kok. Bukan untuk ngehindarin lo, ngebenci lo or somehing like that. Really. Because, to be honest, that moment is so painful for me. Oke terserah kalo lo mau bilang gue lebay atau apa but it's the fact. Dan gue ngerespon lo baru-baru ini karena gue ngerasa gue udah siap buat ngadepin itu semua. It's not that I hate you or avoid you, Grian." aku menjelaskan secara gamblang diselingi tatapan Grian yang selalu ku hindari.
"Good, then. Kalo gini kan semuanya jadi jelas dan ngga akan ada asumsi-asumsi aneh yang ujung-ujungnya cuman buat negative thinking. Makasih ya, Ri." ucap Grian lega sambil tersenyum tulus. Aku pun tak bisa jika tak membalas senyumnya itu.
Siang itu, semua asumsi yang telah membayangi kami berdua pun sirna ditelan oleh penjelasan masing-masing dari kami. Aku mengobrol banyak dengan Grian dan tahu segala hal yang baru tentang Grian. Grian kini kuliah di Universitas Indonesia jurusan Teknik Komputer. Nina, perempuan yang menjadi alasan putusnya hubunganku telah menjadi pacar Grian selama 10 bulan. Aku mungkin dapat menyembunyikan rasa sakit itu di depan Grian, tetapi mungkin tak akan bertahan hingga aku pulang nanti. Aku lebih memilih untuk menikmati setiap cerita yang Grian tuturkan hanya untuk kembali melihat senyumnya yang khas. Senyum yang dulu pernah ia tunjukkan dihadapan teman-temannya saat ia menceritakan tentangku.






- To be continued

Jumat, 08 Agustus 2014

I used to...

I used to know you and maybe I still know you like I did.
I used to admire you and maybe I still admire you like I did.
I used to look at your swollen eyes and maybe I still look at you.
I used to love you and I don't know if I still do or don't.

I used to hold your arms and feel your breath.
I used to hear your voice and think about its meaning.
I used to smell your scent and memorize it in my brain.
I used to count your footsteps and feel excited when you're around.

I used to listen your stories and laugh at them.
I used to joke around with you and be happy with it.
I used to debate with you and ended up with a warm hug from you.
I used to feel cranky to you and all you do is just calm me down.

I used to watch you leave and never look back.
I used to say "don't leave me alone" and all you ever give is a silence
I used to wait for you and you never come.
I used to have a faith on you and time by time it's fading.

what is an 'I used to' worth for?