Minggu, 17 Agustus 2014

Cerpen 1 --- Serupa Tapi Tak Sama (part one)

"So, after all this time, huh?" tanya Yuna memastikan.
"Yeah." jawabku pasti.
"Sejak kapan?" tanyanya lagi.
"Well, I dunno. Let's say....a month ago? Neaah, I'm not sure." jawabku disertai alis yang mengkerut dan ingatan yang masih samar.
"A month ago and you've fell in love with him? Come on! Just because he looks like Grian, it doesn't mean you can fall in love based on their similarity, right?"
"Gue tau kok." 
"Teruuus?" tanya Yuna masih tak mengerti.
"Apanya?" aku pun bertanya kembali karena belum menangkap maksud dari pertanyaannya.
"Ya apa alasan lo kalo lo ngga jatuh cinta ama dia karena bukan kemiripannya ama Grian?"
Aku pun hanya menanggapi pertanyaan Yuna dengan senyuman sembari kembali mengingat-ingat semua kejadian itu.




***

6 bulan sebelumnya...

"Hey."
Aku mendongakkan kepalaku. Dia. Ya, mengenakan kaos berkerah berwarna biru tua dengan tas ransel hitam yang digendongnya dan celana jeans yang berakhir dengan sepatu berwarna hijau muda. Sepatu pemberianku.
"Haiiii." 
"Udah lama ya nunggunya? Sorry ya baru kelar kelas ada urusan sedikit." ucapnya sedikit merasa bersalah.
"No, that's okay. Gue juga belum lama kok." 
"Okay, so...udah mesen?"
"Udah kok barusan. Bentar lagi juga pesenan gue dipanggil. Oh ya, lo mau mesen apa?"
"Espresso. As usual." jawabnya singkat disertai senyum kecil.
"O...kay."
Tak berselang lama, namaku dipanggil oleh waiter dan aku menghampirinya untuk mengambil pesananku. Aku melihat daftar menu beserta harganya dan tak sampai 5 detik mataku tertuju pada harga espresso yang langsung aku pesan. Sembari menunggu espresso, aku melirik ke arah dia yang sedang asyik memainkan ponselnya di kursi kayu itu. Grian. Grianda Prasetyo. Lelaki yang sempat mengisi hari-hariku selama 2,5 tahun ini. Lelaki yang telah memberi arti senyum, ketulusan, pengorbanan, perjuangan, dan rasa sakit. Lelaki yang telah menikam hatiku berkali-kali dan aku (bodohnya) masih menaruh perasaan padanya. Getaran indah dan menyakitkan itu masih terasa dihatiku. Aku tak tahu apakah aku harus menikmati ini ataukah harus segera menyingkirkannya. Aku menundukkan kepala seperti orang yang telah putus asa kehilangan arah.
"Nona Riani!" seru waiter membuyarkan percakapanku dengan diriku sendiri. Yeah, aku memang selalu begini, bercakap-cakap dengan diriku sendiri dalam batin.
"Oh ya." aku mengambil cangkir espresso di tangan kanan sementara tangan kiri sibuk memegang Iced Green Tea Latte kesukaanku.
"Here it is." celetukku spontan sambil menaruh secangkir espresso di depan Grian.
"Wow, thank you. Berapa?" tanya Grian buru-buru mengambil dompet di saku celananya.
"No need. I treat you today." jawabku cuek dan meminum Iced Green Tea Latte.
"Nope." Kekeuh Grian mengeluarkan selembar uang 50 ribu dan memaksa telapak tanganku untuk terbuka agar ia bisa menaruh uangnya disitu. Aku terkejut dan Grian berkata, "Terima atau gue ngga akan mau ngopi sama lo lagi. Oh iya, sisa uangnya buat lo. Rejeki jangan ditolak." kemudian ia kembali menutup telapak tanganku dan tersenyum polos. Sesaat aku mematung dan perang di dalam diriku kembali berkecamuk melihat senyum Grian yang polos dan itu mencegahku untuk marah padanya.
"Elo ya, selalu begitu. Thanks anyway." balasku pasrah sambil menaruh uang itu di dompetku.
Grian tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi saat aku sudah tak bisa berbuat apa-apa dengan keinginannya. Ia selalu seperti itu dan aku pun hanya bisa menaikkan alis dan memainkan bola mata keatas kesamping pertanda acuh. Aku hampir lupa tujuan dari pertemuan kami siang ini setelah 1 tahun lamanya tidak berhubungan via apapun. Aku masih ingat Selasa malam saat Grian memutuskan hubunganku dengan alasan jatuh cinta dengan wanita lain. Aku terkejut saat itu dan langsung tak terima alasannya. Grian mengatakan bahwa lebih baik ia jujur akan hal itu dibanding mencari berbagai alasan klise yang berujung pada sebuah kebohongan dan ia menegaskan bahwa tak ingin hubungan pertemanan kami renggang hanya karena sebuah putusnya hubungan cinta. Cukup dewasa memang, tapi tak menyurutkan rasa kekecewaanku padanya. Semua itu berujung pada putusnya hubunganku dengan Grian tetapi tidak dengan pertemanan kami. Ya, kami masih berteman baik hingga saat ini meskipun aku masih diam-diam menaruh perasaan padanya.
"Selama ini kemana?" tanya Grian serius dengan menatap mataku dalam-dalam.
"Gue? Hahaha nowhere. Dirumah, kampus, cafe...."
"Not places. Where have you been? Avoid me?" tanya Grian memotong jawabanku.
Aku terdiam sejenak memikirkan jawaban yang tepat. Oh, mungkin lebih tepatnya alibi yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang ku benci ini. Ya, aku benci dengan pertanyaan Grian yang mengingatkanku akan setahun yang lalu. Setahun yang penuh dengan perjuanganku untuk menyembuhkan luka yang telah ia ukir.
"Ya gue ngga kemana-mana, Grian. I'm here. I'm going nowhere. Kenapa deh?" jawabku tak nyaman.
"Gini ya, gue tau perasaan lo pasti emang masih sakit dengan semua yang udah gue perbuat. Gue tau itu. Dan gue tau sebenernya lo ngga nyaman dengan pertanyaan gue tadi." ujar Grian.
Oh Grian, you got me, batinku.
".....tapi gue ngga enak kalo hubungan pertemanan kita terus dingin kayak gini, Ri. I mean, just act like you did. Okay? Gue minta maaf atas kejadian setahun yang lalu karena mencoba jujur yang berakhir dengan gue nyakitin lo. Dan gue juga ngga nyangka sekaligus seneng karena lo akhirnya merespon semua whatsapp gue untuk kembali ngomong ama gue setelah setahun ini lo nyuekin gue. Cukup hubungan spesial kita aja yang berakhir, jangan pertemanan kita yang udah berlangsung lebih dari 10 tahun, ya?"
Justru karena udah lama makanya gue bingung, Grian, batinku menjerit. 
"Gue cuma butuh waktu untuk nenangin diri aja kok. Bukan untuk ngehindarin lo, ngebenci lo or somehing like that. Really. Because, to be honest, that moment is so painful for me. Oke terserah kalo lo mau bilang gue lebay atau apa but it's the fact. Dan gue ngerespon lo baru-baru ini karena gue ngerasa gue udah siap buat ngadepin itu semua. It's not that I hate you or avoid you, Grian." aku menjelaskan secara gamblang diselingi tatapan Grian yang selalu ku hindari.
"Good, then. Kalo gini kan semuanya jadi jelas dan ngga akan ada asumsi-asumsi aneh yang ujung-ujungnya cuman buat negative thinking. Makasih ya, Ri." ucap Grian lega sambil tersenyum tulus. Aku pun tak bisa jika tak membalas senyumnya itu.
Siang itu, semua asumsi yang telah membayangi kami berdua pun sirna ditelan oleh penjelasan masing-masing dari kami. Aku mengobrol banyak dengan Grian dan tahu segala hal yang baru tentang Grian. Grian kini kuliah di Universitas Indonesia jurusan Teknik Komputer. Nina, perempuan yang menjadi alasan putusnya hubunganku telah menjadi pacar Grian selama 10 bulan. Aku mungkin dapat menyembunyikan rasa sakit itu di depan Grian, tetapi mungkin tak akan bertahan hingga aku pulang nanti. Aku lebih memilih untuk menikmati setiap cerita yang Grian tuturkan hanya untuk kembali melihat senyumnya yang khas. Senyum yang dulu pernah ia tunjukkan dihadapan teman-temannya saat ia menceritakan tentangku.






- To be continued

0 komentar:

Posting Komentar